Potret Intoleransi di Indonesia: Bagaimana Ekonomi Menjelaskan Intoleransi?

Pantau Ekonomi
8 min readNov 16, 2020

--

Ditulis oleh : Aisyah Afifah Darmawan dan Hanif Ubaidillah -Staff Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

“Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama” — R.A Kartini

Diversitas dan kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu anugerah sekaligus malapetaka bagi Indonesia. Tantangan bagi negara yang sangat beragam menimbulkan intoleransi beragama yang sering terjadi belakangan ini. Tidak hanya belakangan ini, justru polanya terus berulang sejak masa kemerdekaan Indonesia. Apalagi kasus dan isunya semakin meningkat seiring mendekati pesta demokrasi.

Studi oleh Pew Research Center yang dirilis pada tahun 2015, Indonesia memegang peringkat pertama negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Sebanyak 209,12 juta jiwa atau 13,1% populasi Muslim dunia pada tahun 2010 adalah penduduk Indonesia. Kemudian disusul oleh India dan Pakistan dengan populasi Muslim masing-masing 176,2 juta dan 167,41 juta jiwa. Untuk lingkup nasional sendiri, demografi penduduk Muslim di Indonesia mencakup 87,2% dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 239,87 juta jiwa. Menjadikan penduduk beragama Islam sebagai mayoritas dalam masyarakat Indonesia.

Toleransi umat beragama di Indonesia telah banyak dipuji oleh masyarakat, kalangan akademisi, dan politisi baik dalam maupun luar negeri. Bahkan kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia menjadi contoh ideal dalam penerapan kehidupan beragama Islam dibandingkan dengan masyarakat Timur Tengah (Dibb 2001). Akan tetapi, impresi toleransi ini mendapat tantangan dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir semenjak runtuhnya era Soeharto. Dibuktikan oleh makin maraknya kasus intoleransi berbasis agama yang mencakup aksi main hakim sendiri hingga konfrontasi bersenjata (van Dijk dan Kaptein 2016). Lantas, apakah diversitas di Indonesia masih layak menjadi rujukan?

Kasus-kasus intoleransi di Indonesia

Peningkatan kasus intoleransi keagamaan di Indonesia terus terjadi semenjak runtuhnya masa Orde Baru. Ketika Soeharto berkuasa (1965–1998), politik keislaman secara umum dilarang, para pendukungnya dapat dituntut, serta kelompok-kelompok radikal diawasi dengan ketat. Setelah memasuki era reformasi, protes dan penyerangan bermotif agama semakin sering terjadi dengan peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan surat kabar The Jakarta Post (19/10/2010), antara tahun 1967–1998 terhitung ada 470 kasus intoleransi keagamaan, sedangkan pada rentang tahun 1998–2010 sudah menginjak angka 700 kasus. Kemudian SETARA Institute for Democracy and Peace menerbitkan data total kasus intoleransi sejumlah 144 pada 2011 dan 264 kasus pada 2012 berupa penyerangan terhadap agama minoritas (van Dijk dan Kaptein 2016).

Perang saudara atas dasar faktor agama beberapa kali terjadi di kota-kota seperti Maluku, Lombok, Poso di Sulawesi, dan Banjarmasin di Kalimantan. Kasus main hakim sendiri atas dasar agama juga dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim lokal -diantaranya yang paling terkenal adalah- FPI (Front Pembela Islam). Sementara itu, aksi terorisme di Indonesia mulanya dilakukan oleh Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok beranggotakan penduduk Indonesia dan Malaysia yang hubungan dekat dengan al-Qaeda dan Muslim Moro di Filipina. Jemaah Islamiyah dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir, salah satu ulama radikal di Indonesia. Mereka bertanggung jawab atas peristiwa Bom Bali (12 Oktober 2002), Bom Natal (24 November 2000), dan peristiwa-peristiwa terorisme lain. Sebagian besar pemimpin dan anggota dari Jemaah Islamiyah sekarang telah dieksekusi mati atau pidana. Namun, dilaporkan bahwa organisasi tersebut digantikan oleh kelompok teroris yang lebih kecil dan sulit dilacak oleh pemerintah (van Dijk dan Kaptein 2016).

Penolakan praktik keagamaan minoritas dan protes terhadap pembangunan tempat ibadah agama lain sering diikuti dengan aksi kekerasan. Protes tersebut dilayangkan pada pembangunan gereja umat Kristen dan Katolik atau sekedar pelaksanaan kebaktian di rumah warga. Beberapa Kuil umat Konghucu dan Buddha juga mengalami penolakan oleh warga Muslim yang berujung penutupan kuil atau penyetopan aktivitas pelayanan. Akar dari permasalahan ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 tahun 2006, nomor 8 tahun 2006, pasal 14 yang mengharuskan sebuah tempat ibadah untuk memiliki paling sedikit 90 orang pengguna dan persetujuan dari 60 penduduk setempat beragama lain untuk dapat dibangun (van Dijk dan Kaptein 2016).

Trend Intoleransi Politik

Salah satu bukti mikro untuk melihat peningkatan intoleransi keagamaan di Indonesia adalah survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019. Dengan responden sekitar 1500 penduduk Muslim, survei ini menunjukkan pola peningkatan intoleransi keagamaan dalam empat tahun terakhir. Dapat dilihat peningkatan intoleransi terhadap seorang presiden non-Muslim sebanyak 11%, dengan pola yang sama di tingkat yang lebih rendah seperti wakil presiden, gubernur, dan bupati atau walikota. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Muslim Indonesia semakin intoleran terhadap pemimpin pemerintahan yang non-Muslim.

Terlepas dari kasus intoleransi keagamaan yang terus meningkat, tingkat toleransi penduduk Indonesia di setiap kota cenderung berbeda-beda. SETARA Institute for Democracy and Peace membuat “Indeks Kota Toleran” tahun 2018. Indikator yang dinilai mencakup: 1) rencana pembangunan, 2) kebijakan diskriminatif, 3) pernyataan pejabat kunci, 4) tindakan nyata terkait peristiwa, 5) peristiwa intoleransi, 6) partisipasi masyarakat sipil, 7) heterogenitas agama, dan 8) inklusi sosial keagamaan, dengan bobot berbeda dalam perhitungan skor akhir. Berikut adalah 10 kota dengan skor tertinggi dan 10 kota dengan skor terendah.

1O Kota paling toleran
1O Kota paling intoleran

Hubungan faktor sosio-ekonomik dengan tingkat intoleransi di Indonesia

Terdapat pengaruh sosio-ekonomik yang kuat di balik meningkatnya intoleransi beragama yang terjadi di Indonesia (Arief 2019). Dalam penelitiannya, Prof. Arief Anshory Yusuf menemukan bahwa faktor penghasilan individu, keamanan pekerjaan, tingkat pendidikan, (pengakuan) kereligiusan, ketimpangan dan kemiskinan, memiliki pengaruh terhadap tingkat intoleransi seseorang. Dengan menggunakan data panel Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2007 dan 2014 mencakup lebih dari 30.000 individu di 13 provinsi di Indonesia, penelitian ini menerapkan analisis regresi fixed-effect untuk mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi yang relevan dengan intoleransi agama pada tingkat individu.

Penelitian tersebut menyebutkan, secara umum tingkat penghasilan individu berhubungan negatif dengan tingkat intoleransi beragama. Seseorang dengan pekerjaan tetap dan terjamin serta penghasilan lebih tinggi cenderung memiliki tingkat intoleransi beragama yang lebih rendah, vice versa. Korelasi ini sesuai dengan teori identitas sosial dan teori sumber daya terbatas, yang mana prasangka atau intoleransi terhadap orang yang berbeda agama didorong oleh persepsi ancaman terhadap peluang ekonomi (Smelser 1988; Dahrendorf 1959). Kualitas keamanan pekerjaan juga secara umum berhubungan negatif terhadap intoleransi beragama.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap tingkat intoleransi beragama seseorang. Namun, hanya pada tingkatan edukasi tertentu saja seperti tingkat kuliah dan di atasnya saja. Seseorang yang berkuliah cenderung memiliki tingkat toleransi beragama yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak berkuliah. Ketika berkuliah, kemungkinan seseorang bertemu dan berinteraksi dengan lingkungan sosial yang berbeda dan beragam lebih besar daripada ketika SMA kebawah. Hal ini sesuai dengan teori kontak sosial, yang mana seseorang yang banyak berinteraksi dengan kelompok luar (seperti orang dengan kepercayaan berbeda) akan mengenal lebih baik, tidak merasa terancam, dan lebih menerima mereka sebagai bagian dari komunitas (Hodson 2011).

Tingkat (pengakuan) kereligiusan memiliki hubungan yang kuat terhadap tingkat intoleransi beragama seseorang. Individu yang percaya bahwa dirinya lebih religius cenderung lebih intoleran terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Sesuai dengan studi psikologi sosial yang menunjukkan korelasi positif antara komitmen religius dengan prasangka (Allport and Kramer 1946). Bahkan bisa jadi kereligiusan itu sendiri membentuk sikap intoleransi (Allport 1966). Apabila meningkatnya kereligiusan menyebabkan meningkatnya intoleransi beragama, maka hal tersebut sangat memprihatinkan. Peneliti menyebutkan bahwa kejadian ini terjadi karena meningkatnya pemahaman islam konservatif diantara masyarakat Indonesia, misalnya seperti FPI atau HTI. Pendidikan islam moderat dianggap menjadi solusi intoleransi beragama di Indonesia.

Daerah tempat tinggal seperti pedesaan atau perkotaan, secara umum, tidak berhubungan dengan tingkat intoleransi beragama seorang individu. Sementara itu, ketimpangan dan tingkat kemiskinan sangat berhubungan dengan tingkat intoleransi beragama. Seseorang yang tinggal di kota dengan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi cenderung lebih intoleran terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Penemuan ini sejalan dengan penemuan Milligan et al. (2014) yang menggunakan data dari 23 negara yang penduduknya mayoritas islam dan negara-negara barat. Hal ini juga sesuai dengan teori komunitas, di mana ketimpangan sosial dapat menciptakan sikap negatif terhadap seseorang yang berasal dari kelompok yang berbeda (Mulder and Harvey 2005). Hasil analisis regresi penelitian ini juga menyebutkan bahwa seseorang cenderung menjadi lebih intoleran ketika ia tinggal di kota yang memiliki jumlah orang miskin yang lebih besar.

Perlu dicatat bahwa semua faktor sosio-ekonomi diatas tidak selalu menjadi penyebab seseorang menjadi intoleran terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Ada berbagai penyebab lainnya yang bisa menjadi faktor seseorang menjadi intoleran, seperti pada faktor keagamaan dan psikologi yang tidak banyak dibahas disini. Selain itu, tidak semua faktor sosio-ekonomik ini menjadi penyebab utama seseorang menjadi intoleran. Meski begitu, penemuan ini dapat menjadi bahan renungan kita sebagai masyarakat untuk menjadi lebih toleran terhadap orang lain yang berbeda keyakinan.

Kesimpulan

Indonesia yang tadinya dikenal oleh masyarakat luas sebagai negara yang menjunjung tinggi toleransi beragama, kini tidak lagi dikenal dengan cara yang sama. Intoleransi menyebabkan hak-hak kaum minoritas menjadi dibatasi, seperti pada penolakan pembangunan rumah ibadah maupun penolakan pemimpin dari kaum minoritas. Berbagai tindakan intoleran tersebut dapat membahayakan kesatuan dan persatuan Indonesia yang sudah terjalin sejak dahulu.

Faktor sosio-ekonomik terbukti memiliki hubungan yang kuat terhadap tingkat intoleransi beragama seorang individu di Indonesia. Faktor seperti penghasilan individu, keamanan pekerjaan, edukasi, (pengakuan) kereligiusan, ketimpangan dan kemiskinan, memiliki pengaruh terhadap tingkat intoleransi seseorang. Tingkat penghasilan individu, keamanan pekerjaan, dan edukasi, memiliki hubungan negatif dengan tingkat intoleransi beragama seseorang. Maksudnya, semakin tinggi tingkat faktor-faktor tersebut, maka semakin rendah tingkat intoleransi beragama orang tersebut. Sementara itu, tingkat (pengakuan) kereligiusan, ketimpangan dan kemiskinan, memiliki hubungan positif yang kuat terhadap tingkat intoleransi beragama seseorang. Artinya semakin tinggi faktor-faktor tersebut, maka semakin tinggi pula tingkat intoleransi beragama seseorang.

Keberagaman Indonesia merupakan harga mati yang harus dirawat. Jangan sampai ego suku, agama, ras, dan antar etnis menjadikan terpecah. Terkadang, merasa benar sendiri adalah awal mula intoleran muncul. Tetapi, tidak perlu dipaksakan jika memang sudah berbeda. Meminjam perkataan dari Prof. Sumanto Al Qurtuby, Profesor Antropologi Budaya, dari King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dalam seminarnya di CSIS, Menjadi religius baik progresif maupun konservatif tidak menjadi masalah selagi hanya untuk diri sendiri. Jangan sampai dieksternalitaskan kepada orang lain! Rasanya overdosis agama adalah definisi yang tepat untuk saat ini”. Selamat hari toleransi internasional!

Referensi

  • Allport, Gordon W. 1966. The religious context of prejudice. Journal for the Scientific Study of Religion 5: 447–57.
  • Allport, Gordon W., and Bernard M. Kramer. 1946. Some roots of prejudice. The Journal of Psychology 22: 9–39.
  • CSIS Indonesia. 2019. Quo Vadis Pluralisme di Indonesia: Intoleransi, Kekerasan dan Politik Identitas. https://www.youtube.com/watch?v=lubX-4kkyQM.
  • Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford University Press, vol. 15.
  • Dibb, Paul. 2001. Indonesia: The key to South-East Asia’s security. International A
    airs 77: 829–42.
  • Hodson, Gordon. 2011. Do ideologically intolerant people benefit from intergroup contact? Current Directions in Psychological Science 20: 154–59.
  • Lembaga Survei Indonesia. 2019. Tantangan Intoleransi dan Kebebasan Sipil serta Modal Kerja Pada Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo. Diakses pada 15 November 2020. http://www.lsi.or.id/file_download/175
  • Milligan, Scott, Robert Andersen, and Robert Brym. 2014. Assessing Variation in Tolerance in 23 Muslim-Majority and Western Countries. Canadian Review of Sociology/Revue Canadienne de Sociologie 51: 239–61.
  • Mulder, Marlene, and Krahn Harvey. 2005. Individual-and Community-level Determinants of Support for Immigration and Cultural Diversity in Canada. Canadian Review of Sociology/Revue Canadienne de Sociologie 42:421–44.
  • Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/ Nomor 8 Tahun 2006. Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. 21 Maret 2006. Jakarta.
  • Pew Research Center, April 2, 2015, “The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010–2050”
  • Setara Institute. 2018. Indeks Kota Toleran Tahun 2018. Diakses pada 15 November 2020. https://setara-institute.org/indeks-kota-toleran-tahun-2018/
  • Smelser, Neil J. 1988. Handbook of Sociology. Newbury Park: Sage Publication.
  • van Dijk, Kees, and Nico J. G. Kaptein. 2016. Islam, Politics and Change: The Indonesian Experience after the Fall of Suharto. Leiden: Leiden University Press.
  • Yusuf, Arief A., Shidiq, Akhmad R., and Hariyadi Hariyadi. 2019. On Socio-Economic Predictors of Religious Intolerance: Evidence from a Large-Scale Longitudinal Survey in the Largest Muslim Democracy. Religions 2020, 11, 21.

--

--

Pantau Ekonomi
Pantau Ekonomi

Written by Pantau Ekonomi

Platform analisis dan opini ekonomi oleh Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM.

No responses yet