How to K-Pop Industry 101

Pantau Ekonomi
8 min readJun 12, 2021

--

Ditulis Oleh: Aisyah Afifah Darmwan (Akuntansi 2020) — Staff Kajian dan Riset BEM FEB UGM

K-pop sebagai Cetak Biru Ekonomi Kreatif

Apa yang ada dalam pikiran kita saat mendengar istilah k-pop? Mungkin yang terpikirkan adalah musik berbahasa Korea, para idol rupawan melakukan tarian dengan grupnya, video musik dengan sinematografi yang apik, atau masih ada yang memersepsikan k-pop sebagai “plastik”. Kali ini, mari kita mencoba untuk memandang k-pop sebagai salah satu sektor industri dalam perekonomian. Menurut data dari Statista, sektor jasa memang merupakan sektor paling mendominasi dalam GDP Korea Selatan selama beberapa dekade terakhir. Sektor jasa mencakup 56,77% dari total GDP Korea Selatan tahun 2019, bandingkan dengan sektor industri dan agrikultur yang masing–masing mencakup 32,97% dan 1,69% dari total GDP (O’Neill 2021). Bahkan, untuk boygroup bernama BTS sendiri, The Hollywood Reporter menyatakan kontribusi BTS terhadap GDP Korea Selatan yang sejumlah 4,5 miliar USD cukup banyak untuk disejajarkan dengan Hyundai dan Samsung (Abramovitch 2019). Walaupun sebenarnya jumlah tersebut hanya 0,3% dari total GDP Korea Selatan tahun 2018 (Buchholz 2019).

Keberhasilan k-pop menguasai pasar global dan kontribusinya terhadap perekonomian Korea Selatan merupakan inspirasi yang bisa dicontoh dalam sektor ekonomi kreatif Indonesia sendiri. Beberapa tokoh seperti Bambang Brodjonegoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pada saat masih menjabat sebagai Kepala Bappenas pernah mengatakan Korea Selatan bisa menjadi inspirasi Indonesia dalam pembangunan khususnya dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menopang kemajuan ekonomi kreatif (Reily 2019). Mari Elka Pangestu, yang saat itu diamanahkan sebagai Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, juga mengampanyekan gerakan untuk memopulerkan i-pop agar kebudayaan Indonesia tidak luntur oleh masuknya budaya luar (Purwanto 2012). Beliau juga optimis bahwa ke depannya kepopuleran I-Pop dapat menyaingi K-Pop. Bukan hanya beliau yang percaya dengan kemajuan I-Pop, Chairul Tanjung, Chairman CT Corp yang menaungi PT Trans Media Corpora bekerja sama dengan SM Entertainment, raksasa industri k-pop dan salah satu pelopor Korean Wave, dalam bidang talent management, produksi konten, digital, dan gaya hiburan guna meraih visinya menyangkut Indonesian Wave (Budiartie 2019).

The Key of Creative Economy

Keberadaan industri k-pop sendiri tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi, sosial, dan budaya yang melatarbelakangi reformasi tenaga kerja di Korea Selatan. Reformasi tenaga kerja ini dilakukan melalui promosi etos wirausaha ekonomi kreatif dan juga merupakan perpanjangan dari yang telah diterapkan dalam dunia kerja yang lebih konvensional (H.-K. Lee and Zhang 2021). Hal ini dikarenakan Korea Selatan mempersepsikan budaya pop sebagai ‘dispositif kreativitas’, yaitu kumpulan proyek, skema, instrumen, manual, panduan, program TV, dan bentuk hiburan populer lainnya yang membantu pemuda mencari tahu cara untuk bertahan dan berhasil dalam ekonomi kreatif neoliberal (McRobbie 2016). Presiden Kim Dae-Jung (1998–2003), menganjurkan kebijakan ‘ekonomi pengetahuan’ dan ‘masyarakat berbasis pengetahuan’ sebagai subjektivitas neoliberal baru pascakrisis keuangan tahun 1997. Narasi yang digunakan oleh ekonomi pengetahuan tersebut mengedepankan knowledge worker sebagai model warga yang sangat dibutuhkan untuk mengembangkan sektor ekonomi baru dan bertahan dalam persaingan global (K. Lee 2011). Melanjutkan gagasan tersebut, baru-baru ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Park Geun-Hye (2013–2017) menganjurkan gagasan ‘ekonomi kreatif’ dan menyerukan kontribusi potensial setiap warga negara, serta mendaur ulang elemen-elemen dalam wacana ekonomi pengetahuan sebelumnya (H. Lee 2020).

The K-Pop Industry Itself

Selain latar belakang ekonomi, sosial, dan budaya yang menjadi katalis industri k-pop, keberhasilan k-pop didorong oleh dua aktor. Aktor pertama adalah tiga agensi k-pop terbesar (YG Entertainment, SM Entertainment, dan JYP Entertainment) yang telah berkecimpung selama beberapa dekade di industri hiburan. Hal ini disebabkan mereka telah berhasil dalam memilih produk hiburan yang paling sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki Korea Selatan di lingkup industri hiburan dunia. Aktor kedua adalah pemerintah Korea Selatan yang mengembangkan infrastruktur internet di negara tersebut lebih cepat dari tempat lain di dunia (Messerlin and Shin 2017). Hal tersebut menguntungkan dan esensial terhadap industri k-pop karena telah membuka akses permanen agar penampilan k-pop dapat menggapai konsumer melalui portal web seperti Naver, Daum, dan Youku (J. Lee 2009). Dua poin tersebut adalah kunci keunggulan komparatif yang dimiliki Korea Selatan dalam industri k-pop.

Lebih dalam tentang keunggulan komparatif dari produk k-pop dapat dijelaskan dengan model Heckscher-Ohlin. Model tersebut mengasumsikan bahwa setiap negara relatif lebih kaya dalam satu input (relatif terhadap input lainnya) daripada negara lain dan jika sebuah negara memproduksi salah satu barang dengan lebih intensif, negara tersebut akan memperoleh keunggulan komparatif. Untuk industri hiburan, penggunaan framework tersebut memiliki dua spektrum input yaitu audio dan visual. Maksud dari dua spektrum tersebut adalah suatu output industri hiburan jika dilihat dari intensitasnya lebih besar yang mana, input audio atau input visual. Musik k-pop diklasifikasi oleh sebagian besar pengamat sebagai tipe hiburan yang relatif lebih intensif dalam input visual (Russell 2008). Latar belakang dari keunggulan komparatif ini adalah Korea Selatan memiliki kumpulan penyanyi bertalenta yang banyak, tetapi kumpulan penari bertalenta yang lebih banyak lagi jika dibandingkan dengan negara lain. Bukti tentang hal tersebut yang dapat diamati adalah masyarakat Korea Selatan memang unggul dalam b-boying, tarian populer dan kontemporer, hingga tarian klasik. Berhubungan dengan waktu, keunggulan komparatif dalam input visual tersebut juga telah dieksploitasi perusahaan agensi k-pop lebih dulu pada saat terjadinya penurunan supply boygroup dan girlgroup dari negara lain. Kendala bahasa dalam perspektif global industri k-pop juga menjadi keunggulan komparatif input visual (Messerlin and Shin 2017).

Masih tentang keunggulan komparatif produk k-pop, perusahaan-perusahaan musik Korea Selatan juga menjadi yang pertama menyadari potensi dari teknologi dalam distribusi dan pemasaran produk k-pop. Sejak perusahaan-perusahaan elektronik Korea Selatan dapat digolongkan sebagai pemimpin Internet-related hardware, perusahaan-perusahaan k-pop menjadi lebih peka dengan kesempatan-kesempatan secara teknologi untuk bersaing dengan negara lain. Keberadaan teknologi-teknologi baru tersebut membuat entry cost untuk perusahaan k-pop baru dan industri kreatif di sekitarnya menjadi lebih rendah. Keunggulan komparatif lainnya yang berhubungan dengan perkembangan teknologi adalah sejak dahulu perusahaan k-pop memang tidak menjalankan pabrik yang memproduksi CD atau DVD, tidak seperti rekan-rekan mereka di Jepang. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki kepentingan untuk tetap berpegang pada format ini Ketika guncangan makroekonomi krisis keuangan Asia 1997–1998 menghantam perekonomian Korea Selatan. Memahami keunggulan komparatif yang dimiliki Korea Selatan, perusahaan k-pop memiliki strategi yang jitu. Dapat diamati dari tiga perusahaan besar k-pop, mereka memiliki sebuah kesamaan yakni kecil dalam jumlah pendapatan dan pekerja. Hal ini memberikan dampak baik dari sebuah industri kreatif terhadap industri lain yang memiliki stipulasi dengan perusahaan k-pop tersebut. Pada saat yang sama, perusahaan k-pop juga telah menerapkan kebijakan untuk menjangkau aktivitas intensif visual lainnya seperti periklanan. Hal ini membuat keunggulan komparatif yang sudah disediakan ekonomi Korea Selatan menjadi keunggulan kompetitif yang dihasilkan oleh investasi fisik dan manusia berkelanjutan (Messerlin and Shin 2017).

Sustainability and Growth

Keberlanjutan k-pop menguasai pasar industri hiburan global selama belasan tahun terakhir, mengalahkan rentang waktu tahun-tahun keemasan j-pop atau bahkan industri film Hong Kong, perlu untuk diketahui faktor-faktor pendorongnya. Pertama, tingkat persaingan yang relatif tinggi di pasar Korea Selatan akan meningkatkan tekanan pada perusahaan k-pop untuk menjadi produsen yang lebih dinamis di pasar domestik. Alhasil, persaingan yang kompetitif tersebut membuat perusahaan-perusahaan k-pop untuk menaikkan kapasitas ekspor mereka. Faktor kedua, adalah dorongan kuat untuk memproduksi varietas di pasar k-pop. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman yang memudahkan pasar untuk mengakses musik secara online lebih murah dibandingkan musik berupa CD. Murah dan mudahnya mengakses musik online memberikan lebih banyak tekanan pada perusahaan k-pop untuk memproduksi lebih banyak lagu dan grup yang berbeda agar dapat memenuhi selera konsumen (Messerlin and Shin 2013). Faktor terakhir yang dibahas di sini adalah insentif besar untuk k-pop jika sudah dapat go global. Penyebabnya adalah perbedaan harga yang besar antara lokal dan global. Alasan ini menjadi kekuatan yang langsung dan terkuat di balik ledakan ekspor k-pop. Dalam keadaan seperti itu, strategi perusahaan k-pop adalah untuk pergi ke luar negeri secepatnya. Diawali dengan ekspor ke Jepang (pasar yang paling menguntungkan karena nilai tukar mata uang), kemudian ke pasar-pasar di Eropa, dan akhirnya ke Amerika Serikat (Messerlin and Shin 2017).

Menghadapi pasar global dan bertahan di sana, tentu memerlukan strategi yang berbeda dibandingkan menghadapi pasar lokal. Diperlukan penyesuaian guna menyeberangi cultural barrier agar dapat sesuai dengan demand pasar global. Oleh karena internasionalisasi dalam proses produksi k-pop dilakukan (Messerlin and Shin 2017). Perusahaan-perusahaan k-pop sadar bahwa mereka tidak dapat mengandalkan basis produksi murni Korea Selatan jika mereka benar-benar ingin go global. Akibatnya, mereka berupaya untuk membangun global supply chain perusahaan mereka sendiri. Maksudnya adalah dengan mempekerjakan idol dari Asia Timur atau Asia Tenggara untuk menargetkan pasar lokal tertentu, serta penulis lagu, koreografer, dan desainer dari Amerika Serikat atau Eropa (Parc 2015).

Conclusion

Kesuksesan k-pop menguasai pasar global serta mengangkat perekonomian Korea Selatan tidaklah dibangun dalam satu atau dua hari. Faktor-faktor penyebabnya pun kebanyakan sifatnya eksklusif atau tidak memungkinkan untuk ditiru dikarenakan perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Tetapi, k-pop dapat dijadikan inspirasi untuk industri hiburan, atau lebih spesifiknya i-pop, agar ke depannya dapat memajukan perekonomian Indonesia lewat sektor industri kreatif. Sangat disayangkan potensi dan keunggulan komparatif yang dimiliki i-pop jika orang-orang Indonesia mengabaikannya begitu saja. Untuk itu, dibutuhkan atensi dari pemerintah, swasta, pekerja yang berkecimpung di industri kreatif, serta penduduk Indonesia pada umumnya. Karena seperti kasus k-pop, perlu untuk menguasai pasar lokal terlebih dahulu sebelum bisa merambah ke pasar global.

Bibliography:

Abramovitch, Seth. 2019. “BTS Is Back: Music’s Billion-Dollar Boy Band Takes the Next Step.” The Hollywood Reporter (blog). October 2, 2019. https://www.hollywoodreporter.com/movies/movie-features/bts-is-back-musics-billion-dollar-boy-band-takes-next-step-1244580/.

Buchholz, Katharina. 2019. “Infographic: How Much Money Does BTS Make for South Korea?” Statista Infographics. November 5, 2019. https://www.statista.com/chart/19854/companies-bts-share-of-south-korea-gdp/.

Budiartie, Gustidha. 2019. “Gandeng SM, CT Ingin Ada I-Pop Dan ‘Super Junior’ Indonesia.” Lifestyle. February 21, 2019. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190221135946-33-56876/gandeng-sm-ct-ingin-ada-i-pop-dan-super-junior-indonesia.

Lee, Hyekyung. 2020. Cultural Policy in South Korea: Making a New Patron State. Routledge. https://www.routledge.com/Cultural-Policy-in-South-Korea-Making-a-New-Patron-State/Lee/p/book/9780367588557.

Lee, Hye-Kyung, and Xiyu Zhang. 2021. “The Korean Wave as a Source of Implicit Cultural Policy: Making of a Neoliberal Subjectivity in a Korean Style.” International Journal of Cultural Studies 24 (3): 521–37. https://doi.org/10.1177/1367877920961108.

Lee, Jungyup. 2009. “Contesting the Digital Economy and Culture: Digital Technologies and the Transformation of Popular Music in Korea.” Inter-Asia Cultural Studies 10 (4): 489–506. https://doi.org/10.1080/14649370903166143.

Lee, Keehyeung. 2011. Mapping Out the Cultural Politics of “the Korean Wave” in Contemporary South Korea. East Asian Pop Culture. East Asian Pop Culture: Analysing the Korean Wave. Hong Kong: Hong Kong University Press. https://hongkong.universitypressscholarship.com/view/10.5790/hongkong/9789622098923.001.0001/upso-9789622098923-chapter-10.

McRobbie, Angela. 2016. Be Creative: Making a Living in the New Culture Industries. Cambridge: Polity Press.

Messerlin, Patrick, and Wonkyu Shin. 2013. “The K-Pop Wave: An Economic Analysis.” SSRN Electronic Journal, January. https://doi.org/10.2139/ssrn.2294712.

— — — . 2017. “The Success of K-Pop: How Big and Why so Fast?” Asian Journal of Social Science 45 (January): 409–39. https://doi.org/10.1163/15685314-04504003.

O’Neill, Aaron. 2021. “South Korea — GDP Distribution across Economic Sectors 2019.” Statista. March 31, 2021. https://www.statista.com/statistics/375580/south-korea-gdp-distribution-across-economic-sectors/.

Parc, Jimmy. 2015. “Wrestling with or Embracing Digitization?.” European Centre for International Political Economy. December 2015. https://ecipe.org/blog/wrestling-with-or-embracing-digitization/.

Purwanto, Didik. 2012. “Mari Pangestu: I-Pop Harus Saingi K-Pop.” KOMPAS.com. April 30, 2012. https://nasional.kompas.com/read/2012/04/30/14332957/Mari.Pangestu.IPop.Harus.Saingi.KPop.

Reily, Michael. 2019. “Indonesia akan Tiru Kesuksesan Ekonomi Kreatif Korea Selatan — Katadata.co.id.” April 3, 2019. https://katadata.co.id/safrezifitra/berita/5e9a55126552d/indonesia-akan-tiru-kesuksesan-ekonomi-kreatif-korea-selatan.

Russell, Mark James. 2008. Pop Goes Korea: Behind the Revolution in Movies, Music, and Internet Culture. Goodreads. https://www.goodreads.com/work/best_book/2731795-pop-goes-korea-behind-the-revolution-in-movies-music-and-internet-cul.

--

--

Pantau Ekonomi

Platform analisis dan opini ekonomi oleh Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM.