Bolehkah Kesehatan Mental Didiagnosis oleh Diri Sendiri Melalui Internet?
Ditulis oleh: Sabrina Eunice Susanto (Manajemen 2020) — Staff Kajian dan Riset BEM FEB UGM
Potensi Pengaruhnya Peningkatan Informasi Teknologi terhadap Pengetahuan Kesehatan Mental
Di masa industrialisasi dan globalisasi yang semakin canggih, teknologi informasi merupakan alat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan. Informasi yang biasa hanya dimiliki oleh beberapa ahli bidang sekarang dapat diakses masyarakat secara umum. Hal demikian turut terjadi dengan psikolog dan psikiater yang terhubung dengan rakyat awam melalui Internet. Salah satu pusat kesehatan mental yang mudah diakses tersebut pun tersedia oleh Kementerian Kesehatan, dengan layanan aplikasi mereka “Sehat Jiwa” (Wahyuni, 2015). Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa kemelekan warga terhadap informasi mengenai kesehatan mental dari 2013 sampai dengan 2018 telah meningkat dari 1.7% menjadi 7% (Viora, 2018).
Namun demikian, muncullah konsekuensi dimana banyaknya dan cepatnya informasi yang diteruskan dapat digunakan sekehendaknya. Penyebaran pengetahuan di tengah masyarakat yang kurang memahami isu kesehatan mental akan memicu adanya informasi hoax. Informasi mengenai kesehatan jiwa jatuh dalam kondisi ini dimana, oleh karena luasnya gejala penyakit mental disebar di Internet, maka pengguna cenderung dapat mendiagnosis diri sendiri dengan penyakit mental tersebut (self-diagnose). Lebih lagi, informasi tersebut dari internet lebih mungkin dipercaya jika informasinya sesuai dengan kepercayaan atau opini yang sudah dimiliki, terutama mempertimbangkan situasi dimana pengguna sudah lama mengikuti media sosial pembuat hoax tersebut (Respati, 2017).
Hasilnya, kaum muda sebagai pengguna utama media sosial, yang lebih banyak melaporkan gangguan mental. Kaum Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 sampai 2015, tercatat paling banyak menyatakan kesehatan mental mereka sebagai biasa atau buruk (sebanyak 27%). Untuk perbandingan, kaum millennial, yang satu generasi di atas Gen Z, menyatakan demikian sebanyak 15% dan Gen X, yang di atas millennial, sebanyak 13% (Bethune, 2019).
Bahayanya, tentu saja anak-anak yang terpapar berbagai jenis berita yang belum tentu benar ini akan semakin terpengaruh oleh pola pikirnya yang yakin bahwa mereka mengalami gangguan mental, walaupun hal tersebut belum tentu kebenarannya. Namun, dengan teknologi canggih dan pengetahuan dunia dalam genggaman tangan sendiri, bukankah sebenarnya baik dan membantu untuk semakin mengetahui kondisi pribadi, terutama mempertimbangkan sulitnya mendapatkan bantuan klinis di muka di bawah tekanan finansial dan kultural?
Penggambaran Penyakit Mental di Internet: Romantisasi dan Normalisasi
Tidak jarang, sebagai pengguna Internet dan media secara luas, kita dapat menemukan berbagai penggambaran orang, baik karakter dalam film maupun pengguna media sosial lainnya, menunjukkan sifat penyakit mental. Contoh dari ini merupakan kategori postingan penyakit mental berwarna hitam-putih yang secara estetika indah untuk dilihat, kadang dengan kutipan sedih di atasnya (Shresta, 2018). Penelitian Bine (2013) menunjukkan bahwa remaja yang paling banyak mengkonsumsi konten tersebut akan semakin tertarik untuk depresi, atau dalam kata-kata mereka, “ingin menjadi misterius, gelap, dan mempesona”. Banyak remaja hari ini, terutama remaja perempuan, semakin tertarik kepada nuansa “indah”-nya penyakit mental oleh karena tren yang gambar-gambar tersebut tidak secara langsung promosikan.
Hadirnya Internet, dan dengan ekstensi, media sosial, membuat situasi tersebut semakin mudah terjadi karena adanya “echo-chamber”. Siapa saja dapat dengan mudah mengikuti berbagai komunitas ini dan posting gambar apapun, yang akhirnya membuat komunitas tersebut mencari perhatian dan penghiburan dari pengguna media sosial lainnya. Bine (2013) menyatakan bahwa komunitas-komunitas tersebut tidak membantu remaja untuk mencari pengobatan atau merasa lebih baik, sebaliknya komunitas itu dapat menarik orang lain untuk membina perasaan negatif yang menghantui mereka. Penggambaran penyakit mental seperti ini-lah yang justru dapat mencelakakan orang lain untuk membuntuti tren yang tidak patut diikuti, dan yang akan memperburuk kesehatan mental.
Tapi tentu dapat dikatakan bahwa penggambaran penyakit mental di media sosial tidak semua buruk, melainkan ada beberapa yang justru memberi keberanian kepada pengidap gangguan mental untuk mengurangi rasa terisolasi dan terasingkan mereka dari dunia. Ditemukan, pengungkapan selebriti terkait dengan kesehatan mental mereka membantu meningkatkan pengetahuan umum tentang penyakit tersebut, menginspirasikan orang lain dengan penyakit yang sama untuk melalui pengobatan, dan mempromosikan advokasi terhadap penyakit tersebut (Beck, Aubuchon, Mckenna, Ruhl dan Simmons, 2013).
Bagi kaum minoritas, normalisasi pembicaraan kesehatan mental menjadi semakin relevan. Dilansir dari American Psychiatric Association, kaum African-American merupakan salah satu kelompok orang yang kurang terwakili di bidang kesehatan mental. Berbagai alasan untuk hal tersebut bisa karena diskriminasi yang dialami dalam bentuk bias rasial dari para pelayan kesehatan mental. Jada Pinkett Smith, sebagai salah satu influencer kesehatan mental, berusaha melakukan normalisasi diskusi-diskusi mengenai berbagai isu di komunitas perempuan African-American dalam acara televisinya yang juga disiarkan di Internet dan media sosial Facebook. Terutama untuk komunitasnya, acara tersebut memberi ruang bagi mereka untuk lebih bebas membicarakan opini dan perasaan mereka terhadap rasisme dan kondisi mental (Ifeanyi, 2019).
Kerugian dalam Melakukan Diagnosis Kesehatan Mental Sendiri
Sulitnya menghadapi masalah self-diagnosis ini berasal dari gagasan yang disetujui secara umum dimana manusia akan kesulitan menghadapi kondisi kesehatan mereka secara objektif. Dengan mudahnya akses pencarian internet hari ini, orang cenderung langsung konsultasi dengan internet ketika merasa sesuatu yang ‘aneh’ terjadi dengannya, bahkan kadang sampai memperbesarkan gejala yang beliau pikir ia miliki. Walaupun mungkin bukan kejadian apapun yang patut dicemasi, jika informasi yang telah diserap mengkhawatirkan dan memiliki ukuran keterkaitan yang lumayan kuat dengan perasaan yang dimiliki, maka mereka dapat jatuh ke konklusi yang belum tentu benar.
‘Cyberchondria’ merupakan sebutan dari fenomena yang terjadi ketika pengguna internet dan media sosial terlalu sering mengikuti, bahkan sampai tingkat obsesi, informasi online yang bahkan belum tentu benar (Smith, 2006). Fenomena ini pun tidak jarang dipakai untuk mendeskripsikan orang yang ingin mencari tahu lebih dalam mengenai kesehatan mental mereka, tapi oleh karena frekuensinya yang berlebihan, pengguna internet justru semakin cemas atau mengidap anxiety. Tentu saja, hal ini tidak berlaku untuk semua orang yang melakukan diagnosis diri, tetapi dapat menunjukkan betapa dalamnya jaringan internet dapat mengubah pikiran, dan bahkan kesehatan kita, untuk dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan melalui internet.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ketepatan dan kualitas dari situs yang berhubungan dengan kesehatan dilaporkan masih rendah (Lewiecki dan Kiebzak, 2006). Yellowlees dan Brooks (1999) mengidentifikasikan ini sebagai ‘information overload’ atau informasi yang berlebihan, yang merupakan masalah besar di internet. Karena banyaknya informasi dan data yang harus diproses, kadang akan sulit bagi seorang untuk mencari informasi yang betul-betul relevan. Dari audit berbagai situs kesehatan mental yang dilakukan oleh Christensen dan Griffiths (2000), kualitas informasi yang disediakan online masih sangat rendah, kurang keseimbangan, dan tidak menyediakan informasi lengkap mengenai pengobatan yang benar sesuai ‘gold standard’. Adapun masalah perkataan dalam berbagai situs tersebut, dimana banyak dari informasi yang diberikan dapat mudah diinterpretasi dengan salah. Walaupun demikian, riset audit ini juga menunjukkan banyak situs tetap menunjukkan inti dari informasi yang patut diberikan dengan baik pada beberapa bagian tertentu. Contohnya, situs konsumen memiliki potensi pendidikan kesehatan mental kepada profesional kesehatan mental karena situs tersebut menunjukkan berbagai kecemasan yang dimiliki oleh konsumen. Diskusi mengenai efek samping pengobatan dan saran serta rekomendasi mencari terapis yang baik sangat membantu bagi pasien.
Kelebihan dalam Melakukan Diagnosis Kesehatan Mental Sendiri
Menurut Lanseng dan Andreassen (2007), tambahan manfaat kenyamanan dan kemudahan dengan melakukan self-diagnosis tentu akan menjadi opsi yang lebih disukai. Orang tidak perlu lagi menghamburkan uang untuk check-up klinis, dan tidak perlu menghabiskan waktu dan energi untuk pergi menemui psikolog. Mengingat bahwa dengan alurnya waktu, kapitalisme semakin membawa kesulitan bagi pasien yang membutuhkan pengobatan kesehatan mental. Komodifikasi kesehatan mental serta pengobatannya menghasilkan halangan finansial bagi pengidap gangguan mental, sehingga melakukan diagnosis sendiri melalui internet menjadi pilihan yang disukai karena tidak membutuhkan uang (Esposito dan Perez, 2014).
Selain itu, adapun riset yang menunjukkan bahwa Internet merupakan medium pilihan utama bagi remaja dan dewasa untuk berkomunikasi dengan orang lain — yakni yang mengalami hal yang sama seperti kecenderungan menyakiti diri (self-harm). Lewis dan Baker (2011) menemukan bahwa salah satu ketertarikan dari Internet berakar dari adanya anonimitas yang ditawarkan oleh pengguna, terutama untuk mereka yang mengalami tekanan psikologis dan kesulitan emosional lainnya untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain. Perasaan ini pun dapat dipertinggi jika terdapat tekanan sosial secara budaya atau kultur yang memiliki stigma negatif terhadap kondisi kesehatan mental.
Penelitian dari Mestdagh dan Hansen (2013) membuktikan bahwa banyak pasien kesehatan mental seperti skizofrenia diperlakukan secara tidak adil dan melalui diskriminasi baik dalam perawatan kesehatan mental serta di komunitas sendiri. Untuk kasus di Indonesia sendiri, penelitian Syahari (2008) di Yogyakarta menemukan bahwa pemahaman masyarakat mengenai tingkah laku terhadap kesehatan mental masih dikaitkan dalam nilai tradisi dan budaya, yang akhirnya menyulitkan warga untuk lebih terbuka pikiran terhadap penjelasan yang bersifat lebih ilmiah. Dari penelitian lain di Sumedang, dimana setelah melakukan survei, ditemukan pembatasan sosial dimana pasien pengidap gangguan jiwa dianggap merupakan suatu ancaman bagi masyarakat dan harus dihindari (Purnama, Yani, dan Sutini, 2016). Oleh karena semua stigma tersebut yang mengelilingi penyakit mental, maka seorang yang bergumul dengan kondisi kesehatan mereka akan lebih memilih untuk mencari tahu sendiri menggunakan sendiri dibanding konsultasi dengan orang lain.
Sebaliknya, jika pengidap gangguan mental memilih untuk mencari informasi dan bahkan konsultasi kepada orang yang berpikiran sama di Internet, beliau memiliki potensi lebih tinggi untuk merasa nyaman ketika menyuarakan perasaannya, terutama karena dapat mengumpat di balik keamanan anonimitas (Whitlock, Powers, dan Eckenrode, 2006). Lebih lagi, ditemukan bahwa mereka yang konsultasi dan menemukan komunitas mereka di Internet melaporkan pengurangan dalam melakukan hal seperti melukai diri sendiri (Johnson, Zastawny, dan Kulpa, 2010). Namun, memang harus dinyatakan juga penelitian lebih lanjut harus dilakukan sebelum bisa benar-benar menegaskan bahwa konsultasi online, baik melalui terapis atau komunitas sendiri, dapat sepenuhnya membantu.
Konklusi
Seperti yang dapat dilihat, isu kesehatan mental seringkali tidak dapat dilihat melalui pandangan sederhana yang hitam-putih. Pada akhirnya, semua di tangan pengguna Internet dan media untuk bijaksana sendiri dalam mengkonsumsi konten yang benar dan positif. Memang setiap manusia memiliki waktu dalam hidup mereka yang baik dan buruk, dan kadang beberapa melaluinya lebih buruk lagi karena dibebani oleh gangguan mental, tetapi kita pun harus hati-hati dalam menilai apa yang terjadi dalam diri kita, dan jangan biarkan informasi tidak benar menyimpang dari penilaian anda terhadap diri sendiri.
Daftar Pustaka:
American Psychiatric Association. (2017). Mental health disparities: African Americans.
Beck CS, Aubuchon SM, McKenna TP, Ruhl S, Simmons N. Blurring personal health and public priorities: an analysis of celebrity health narratives in the public sphere. Health Commun. 2013;29(3):244–56.
Bethune, S. (2019, Januari). https://www.apa.org/monitor/2019/01/gen-z
Bine, A. (2013, October 28). Social media is redefining ‘depression.’ The Atlantic. https://www.theatlantic.com/health/archive/2013/10/social-media-is-redefining-depression/280818/
Chazai, A. & Ferdian A. (2016). Tindak pidana pemalsuan, PT Rajagrafindo Persada, hal. 236.
Christensen, H., & Griffiths, K. (2000). The Internet and Mental Health Literacy. Australian & New Zealand Journal of Psychiatry, 34(6), 975–979. doi:10.1080/000486700272
Epidemiol (2014) 49:79–87. http://search.proquest.com/docview/1473699469/BF300E4386374C26PQ/1?accountid=48290.
Esposito, L., & Perez, F. M. (2014). Neoliberalism and the Commodification of Mental Health. Humanity & Society, 38(4), 414–442. doi:10.1177/0160597614544958
Ifeanyi FC. (2019). How Jada Pinkett Smith’s “Red Table Talk” went from hobby to full-on movement. Fast Company. https://www.fastcompany.com/90298515/how-jada-pinkett-smiths-red-table-talk-went-from-hobby-to-full-on-movement.
Johnson GM, Zastawny S, Kulpa A: E-message boards for those who self-injure: Implications for e-health. Int J Ment Health Addict. 2010, 8 (Suppl 4): 566–569.
Lanseng, E. J., & Andreassen, T. W. (2007). Electronic healthcare: a study of people’s readiness and attitude toward performing self‐diagnosis. International Journal of Service Industry Management, 18(4), 394–417. doi:10.1108/09564230710778155
Lewiecki EM, Rudolph LA, Kiebzak GM, et al. (2006). Assessment of osteoporosis-website
quality. Osteoporos Int, 17: 741 -52
Lewis SP, Baker TG: The possible risks of self-injury websites: a content analysis. Arch Suicide Res. 2011, 15 (Suppl 4): 390–396.
Mestdagh, A,. and Hansen, B. (2013). Stigma in patients with schizophrenia receiving community mental health care: a review of qualitative studies. Soc Psychiatry Psychiatry
Mujahir, A. (2018, November). Pemahaman Kesehatan Jiwa Dinilai Membaik. http://www.harnas.co/2018/11/04/pemahaman-kesehatan-jiwa-dinilai-membaik
Purnama, G., Yani, D. I., Sutini, T. (2016). Gambaran Stigma Masyarakat Terhadap Klien Gangguan Jiwa di RW 09 Desa Cileles Sumedang. https://ejournal.upi.edu/index.php/JPKI/article/view/2850/1968
Respati, S. (2017). Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita “Hoax”? Kompas.com. http://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax .
Ryan, A., & Wilson, S. (2008). Internet healthcare: do self-diagnosis sites do more harm than good? Expert Opinion on Drug Safety, 7(3), 227–229. doi:10.1517/14740338.7.3.227
Sartika, R. E. (2019, Juli 11). Awas, Kebiasaan “Self Diagnosis” dari Internet Bisa Berbahaya. kompas.com: https://sains.kompas.com/
Shresta, A. (2018). Echo: the Romanticization of Mental Illness on Tumblr.
Smith PK, Fox AT, Davies P, Hamidi-Manesh L. Cyberchondriacs. Int J Adolesc Med Health 2006 ; 18 : 209 -13
Wahyuni, T. (2015, Oktober). Sehat Jiwa, Aplikasi Bermanfaat dari Kementerian Kesehatan. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151010152023-255-84145/sehat-jiwa-aplikasi-bermanfaat-dari-kementerian-kesehatan
Whitlock JL, Powers JL, Eckenrode J: The virtual cutting edge: The internet and adolescent self-injury. Dev Psychol. 2006, 42 (Suppl 3): 407–417.
Yellowlees PM, Brooks, PM. Health on line: the future isn’t what it used to be. Medical Journal of Australia. 1999; 171:522–525